1. Hukum
Perdata Yang Berlaku Di Indonesia
Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam
masyarakat. Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua Hukum Privat materiil
dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan suatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang sekarang dikenal denagn HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala aperaturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan suatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang sekarang dikenal denagn HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala aperaturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
2. Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di
Indonesia
Bermula dari benua Eropa, terutama di Eropa
Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan
Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu
sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena itu hukum di di
Eropa tidak terintegrasi sebagaimana mestinya, dimana tiap-tiap daerah memiliki
peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda. Oleh
karena adanya perbedaan terlihat jelas bahwa tidak adanya kepastian hukum yang
menunjang, sehingga orang mencari jalan untuk kepastian hukum dan
keseragaman hukum.
Pada tahun 1804batas prakarsa Napoleon terhimpunlah
Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des
Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”. Dan mengenai
peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi anatar lain masalah
wessel, assuransi, dan badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung (jaman
baru pada sekitar abad pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab undang-undang
tersendiri dengan nama “Code de Commerce”.
Sejalan degan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda
(1809-1811), maka Raja Lodewijk Napoleon menetapkan: “Wetboek Napoleon
Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des
Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda
(Nederland).
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan
Nederland disatukan dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais
atau Code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda (Nederland). Oleh karena
perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda (Nederland)
dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodifikasi
dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5 Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan
terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah
produk Nasional-Nederland namun isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan
Code Civil des Francais dan Code de Commerce.
Dan pada tahun 1948,kedua Undang-undang produk
Nasional-Nederland ini diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie
(azas Politik Hukum). Sampai saat ini kita kenal denga kata KUH Sipil (KUHP)
untuk BW (Burgerlijk Wetboek). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van
koophandle).
3. Pengertian dan Keadaan Hukum di Indonesia
Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam
masyarakat. Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua Hukum Privat materiil
dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan suatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang sekarang dikenal denagn HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala aperaturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
Kondisi Hukum Perdata dewasa ini di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan suatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang sekarang dikenal denagn HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala aperaturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
Kondisi Hukum Perdata dewasa ini di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
- Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat Bangsa Indonesia, karena negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
- Faktor Hostia Yuridisyang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
a.
Golongan Eropa dan yang dipersamakan
b. Golongan Bumi Putera (pribumi / bangsa Indonesia asli)
dan yang dipersamakan.
c.
Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).
Pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas.
Adapun hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu:
- Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
- Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
- Bagi golongan timur asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Pedoman politik bagi pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis
dalam pasal
131 (I.S) (Indische Staatregeling) yang sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal
75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokoknya sebagai berikut:
- Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diletakan dalam kitab Undang-undang yaitu di Kodifikasi).
- Untuk golongan bangsa Eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (sesuai azas Konkordansi).
- Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing (yaitu Tionghoa, Arab, dan lainnya) jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka.
- Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama denagn bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai perbuatan tertentu saja.
- Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesai ditulis di dalam Undang-undang. Maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti:
* Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no7.4).
* Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan denag no 717).
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
* Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)
* Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)
* Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
* Ordonansi tentang pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).
4. Sistematika Hukum Perdata Di Indonesia
Sistematika Hukum Perdata Kita (BW) ada dua pendapat. Pendapat pertama yaitu, dari pemberlaku Undang-undang berisi:
Buku I : Berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
Buku II : Berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Buku III : Berisi tentang hal perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antar orang-orang atau pihak-pihak tetentu.
Buku 1V : Berisi tentang pembuktian dak daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluarsa.
Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
Sistematika Hukum Perdata Kita (BW) ada dua pendapat. Pendapat pertama yaitu, dari pemberlaku Undang-undang berisi:
Buku I : Berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
Buku II : Berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Buku III : Berisi tentang hal perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antar orang-orang atau pihak-pihak tetentu.
Buku 1V : Berisi tentang pembuktian dak daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluarsa.
Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1.
Hukum rentang
diri seseorang (pribadi).
Mengatur tentang manusia
sebagai subyek dan hukum, mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki
hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan
selanjutnya tentan hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
2. Hukum Kekeluargaan
Mengatur prihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami denagn
istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
3. Hukum Kekayaan
Mengatur prihal
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya dinamakan Hak Mutlak dan Hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tetetu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
* Hak seorang pelukis atas karya lukisannya
* Hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya dinamakan Hak Mutlak dan Hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tetetu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
* Hak seorang pelukis atas karya lukisannya
* Hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
4. Hukum Warisan
Mengatur tentang benda atau
kekayaan seseorang jika ia meningal. Disamping itu hukum warisan mengatur
akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Kasus Hukum Perdata tentang Warisan
Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah
Indosiar.com, Jakarta - Kasus rebutan warisan
almarhum Adi Firansyah akhirnya bergulis ke Pengadilan. Sidang pertama perkara
ini telah digelar Kamis (12/04) kemarin di Pengadilan Agama Bekasi. Warisan
pesinetron muda yang meninggal akibat kecelakaan sepeda motor ini, menjadi
sengketa antara Ibunda almarhum dengan Nielsa Lubis, mantan istri Adi.
Nielsa menuntut agar harta peninggalan Adi
segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya memperjuangkan hak Chavia, putri hasil
perkawinannya dengan Adi. Sementara Ibunda Adi mengatakan pada dasarnya
pihaknya tidak keberatan dengan pembagian harta almarhum anaknya. Namun
mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi, pihaknya berkeras tidak akan
menjual, menunggu Chavia besar.
Menurut Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi
Firansyah, "Saya menginginkan penyelesaiannya secara damai dan untuk
pembagian warisan toh nantinya juga buat Chavia. Kita sudah coba secara
kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."
Menurut Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi
Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga dikasih untuk Nielsa dan Chavia.
Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris harus ada tulisan untuk saya, Nielsa
dan Chavia. Rumah itu tidak akan dijual menunggu Chavia kalau sudah
besar."
Terlepas dari memperjuangkan hak, namun
mencuatnya masalah ini mengundang keprihatinan. Karena ribut-ribut mengenai harta
warisan rasanya memalukan. Selain itu, sangat di sayangkan jika gara-gara
persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan Nielsa jadi tambang meruncing.
Sebelum ini pun mereka sudah tidak terjalin
komunikasi. Semestinya hubungan baik harus terus dijaga, sekalipun Adi dan
Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat berpengaruh pada perkembangan
psikologis Chavia. "Saya
tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah
berkomunikasi dengan Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.
"Bagaimana juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat
dengan dia. Saya siap akan mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny
Nuraeni. (Aozora/Devi)
Solusi:
Dikasus ini, yang meninggalkan harta
warisan adalah almarhum mantan suami yang menjadi rebutan antara sang ibu
almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum telah memiliki anak dari
mantan istrinya.
Untuk status rumah yang ditinggalkan
oleh almarhum, tergantung kapan almarhum memiliki rumah tersebut, jika almarhum
sudah memilikinya sejak masih bersama mantan istri maka status rumah merupakan
harta bersama atau harta gono gini yang diperoleh dari almarhum saat masih
bersama mantan istrinya. Hal ini sesuai dengan pengertian harta bersama menurut
ketentuan pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang
menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama.
Dan Apabila terjadi suatu
perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut hukum masing masing
(pasal 37 UUP). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama,
hukum adat dan hukum lainnya.
Mengenai harta benda dalam
perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu:
1.
Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama
perkawinan dan dikuasai oleh suami dan istri dalam artian bahwa suami atau
istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah
pihak. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Yang dimaksud "hukumnya" masing-masing adalah
hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).
2.
Harta bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh
masing-masing suami dan istri ketika terjadi perkawinan dan dikuasai oleh
masing-masing pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri
berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya
(pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami dan istri menentukan lain,
misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka penguasaan harta bawaan dilakukan
sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian juga apabila terjadi perceraian,
harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
3.
Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh
masing-masing suami dan istri sebagai hadiah atau warisan dan penguasaannya
pada dasarnya seperti harta bawaan.
Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka
mantan istri almarhum mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh
selama perkawinan berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan
harta tersebut disebut harta bersama.
Mengenai hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahan
pun seorang anak secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang
tuanya. Hibah dapat dilakukan jika tidak merugikan apa yang menjadi hak dari
ahli waris, disamping itu mantan istri almarhum juga berhak atas harta warisan
tersebut.
Sumber: